Teropongindonesianews.com
Eleuterius Andreyano Meka
Mahasiswa Universitas Widya Mandira Kupang
Sejak manusia keluar dari dunia mitos, lalu mengambil jarak terhadap dunianya secara ontologis, tercatat beberapa kegoncangan kebudayaan. Aguste Comte mengatakan bahwa umat manusia dalam perkembangan kebudayaan, bergerak maju dari tahap mitos dan agama, ke tahap positif, terhadap ilmu pengatahuan. Dapat dilihat bahwa di awal peradaban manusia, agama memainkan peranan penting. Namun seiring berjalannya waktu, posisinya mulai tergantikan oleh pengetahuan.
Aristoteles menulis bahwa manusia adalah makhluk yang ingin mengetahui. Selaras dengannya Thomas Aquinas juga memberi pandangan bahwa manusia adalah makhluk yang selalu bertanya.
Secara faktual pertanyaan dan keingintahuan manusia mendorong gairah untuk melahirkan jiwa imajiner dalam menciptakan kreatifitas yang sangat luar biasa. Dan manusia menemukan jawabannya dalam beragam alat komunikasi yang merupakan ciptaan homo sapiens.
Namun demikian, kemajuan teknologi internet telah mereduksi komunikasi antar manusia. Manusia menjadi sangat egois dan acuh tak acuh terhadap lingkungan dan orang-orang di sekitarnya. Dunia sedang mengharuskan seseorang untuk menggunakan computer mediated communication (cmc), di mana dampak negatif jelas terlihat. Orang tidak lagi menghargai komunikasi bermakna antara human by human atau face to face dalam membangun relasi.
Dampak lain yang ditimbulkan ialah bahwa nilai religius masyarakat modern sedang “terjun bebas”, dan diganti dengan dewa ciptaan masing-masing yang dipuja secara fanatik. Apabila agama dan para pelayannya yang menjadi tonggak terakhir perisai perlawanan terhadap unsur kesombongan manusia bersikap apatis, maka eksistensi Gereja-pun dipertanyakan.
Di era digital, banyak anak mudah atau kaum remaja yang sudah menganggap agama tidaklah pentingnya. Kebanyakan dari mereka menghadiri misa pada hari minggu, hanyalah ritualisasi semata atau ada kepentingan lain. seperti ingin bertemu teman, pacar, kenalan, kerabat, dan lain sebagainya.
Ini terlihat jelas dari cara mereka menghayati makna perayaan Ekaristi. Gereja telah menjadi media pertemuan untuk berfoto ria, mengobrol, gossip, dan menjadi tempat pelarian dari masalah di rumah atau dalam keluarga.
Perkembangan media sosial yang terjadi secara masif telah memengaruhi terjadinya krisis iman umat katolik di kalangan remaja. Kejadian ini membuka mata dan pikiran para pemimpin Gereja akan sebuah tantangan berat dalam misi menjangkau anak milenial Kristen.
Dirasa bahwa pengembalaan dan mentoring gereja secara onsite terputus dan penjangkaun terhadap generasi milenial dalam ruang digital juga tidak maksimal. Anak milenial menyatakan bahwa gereja tidak lagi menarik dan tidak cocok dengan tuntutan perkemabangan zaman.
Untuk menjawab problematika seperti ini, begitu banyak pihak yang mampu membantu untuk menumbuhkan kualitas diri manusia itu sendiri. Ada peran pendidikan formal yang mengajarkan tentang ilmu pengetahuan dan pembentukan karakter anak. Hal selanjutnya adalah peran komunitas baik keluarga, persahabatan, ataupun lingkungan lainnya.
Karakteristik Kaum Remaja di Era Digital
Manusia pada hakekatnya adalah makhluk senantiasa berubah. Perubahan menjadi satu factum yang tidak dapat dinegasi. Perubahan paling mendasar dan sangat kodrati adalah perubahan fisik, yang bermula dari janin menjadi bayi, anak-anak, ,remaja dan seturusnya. Hal ini mau menggambarkan dengan jelas tentang kemutlakan perubahan dalam hidup.
Perubahan terjadi tidak hanya secara biologis namun juga sosiologis. Perubahan terjadi dalam setiap dimensi kehidupan manusia, baik dalam bidang pendidikan, kesehatan, pertahanan, komunikasi, dan pertanian. Perubahan yang paling memengaruhi berbagai lini kehidupan dan jenjang sosial kemasyarakatan adalah ilmu pengetahuan dan komunikasi.
Manusia dewasa ini lumrah disebut sebagai “Homo Digitalis” atau makhluk digital. Rumasan klasik tentang manusia sebagai makhluk sosial mungkin tidak hilang namun direduksi ke arah yang berbeda. Sosial bukan dalam artian lokal melainkan global. Artinya manusia di era digital ini memang masih hidup sebagai makhluk sosial namum bagi saya sosial yang utopis.
Kesosialan manusia dewasa ini lebih dimaksudkan pada relasi antar wilayah atau bahkan Negara, dan bukan antar “sesama” yang berada secara empirik. Hubungan yang dibangun bukan melalui interaksi langsung antara subjek dan objek, melainkan melalui platform digital atau internet.
Secara etimologis digital berasal dari kata Inggris, digit, yang berarti jari tangan atau kaki. Dari arti kata digital dapat kita buat satu hipotesa bahwa era digital adalah suatu masa di mana orang lebih sering menggunakan jari untuk melakukan aktifitas.
Problem empirik yang timbul di era digital adalah disfungsi jari. Jari/tangan yang sejak abad pertama kehidupan manusia biasa digunakan untuk bekerja seperti berburu, bercocok tanam, dan lain sebagainya, atau dalam kehidupan katholik, jari yang dulunya digunakan untuk menghiting butir-butir rosario, kini menjadi jari yang sibuk mengetik keyboard pada alat komunikasi modern.
Perubahan-perubahan yang terjadi mereduksi banyak hal dari kehidupan pribadi manusia. Dahulu kala anak kecil berkumpul bersama, bermain, dan melakukan kegiatan yang memiliki nilai sosial yang sangat tinggi. Berbeda dengan anak-anak zaman sekarang yang asyik berselancar dengan dunianya sendiri. Orang sudah menjadi sangat individualistis dan egostis.
Ditinjau dari aspek kerohanian, banyak anak muda zaman sekarang yang menganggap praktek keagaman merupakan hal yang kuno dan terlalu berbau feminis. Nilai moral-etika sosial dipandang sebagai pengekang kebebasan.
Anak-anak usia sekolah dasar yang seharusnya polos, jujur, dan lugu, manjadi anak yang penuh manipulatif dan progresif. Dengan data dari internet yang tidak difilter, membuat anak kecil memperoleh banyak pengetahuan, entah yang buruk maupun yang baik.
Hal yang sama berlaku bagi remaja di usia sekolah pertama yang kerap terlibat dalam tidakan anarkis dan pornoaksi/pornografi. Pada kenyataannya bahwa karakter personal remaja zaman ini tidak dapat lagi diprediksi. Karakter pribadi setiap anak telah terkontaminasi oleh video dan game yang dimainkan. Dan, persoalan kemudian yang menjadi dampak lanjutan dari arus globalisasi dan digitalisasi ini adalah krisis iman.
Krisis Iman Remaja dan Solusinya
Perkembangan media komunikasi, internet, pengetahuan atau sains telah membawa krisis iman secara khusus terhadap iman kaum remaja. Tingkat pertumbuhan iman (rohani) generasi ini menurun drastis hampir di seluruh pelayanan gereja lokal di kota besar.
Hal ini dikarenakan karakteristiknya yang sangat kontemporer, kontradiksi dengan keberadaan Gereja yang konservatif, sehingga dipandang sebagai hal yang mistis, jauh, terbelakang, tidak berkembang, dan tertutup terhadap perkembangan zaman.
Iman sebagai bagian dari realitas humanitas merupakan proses yang tidak sekali jadi. Iman adalah suatu proses menjadi. Iman adalah sebuah jawaban dari pergumulan. Kebenaran iman ada dalam laku, bukan hanya dalam rumusan yang baku. Orang beriman membutuhkan proses untuk dapat menumbuhkan imannya. Perlu adanya latihan, arahan, dorongan, bantuan dan lain sebagainya dalam menumbuh kembangkan iman tersebut.
Iman membutuhkan perbuatan atau actio bukan hanya sebatas mengikuti ritual keagamaan, menghafal doa-doa, atau mendaraskan mazmur setiap hari. Pandangan inilah yang harus ada dalam diri kaum remaja saat ini.
Iman pada dasarnya merupakan wilayah privat manusia. Artinya setiap orang bebas mengatur atau menata imannya masing-masing. Karena bersifat privat maka iman sebenarnya juga sangat subjektif dalam mana tidak dapat dibenarkan pemaksaan seseorang untuk menganut agama tertentu atau mendikte dengan cara pemaksaan untuk mengimani apa yang diimani.
Iman adalah satu kebebasan. Namun iman juga bersifat objektif. Artinya ketika berada dalam satu komunitas iman yang sama ada keharusan mengahayati iman secara personal harus juga menjalaninya secara komunal atau bersama orang lain.
Dalam kasus ini, kiranya semua orang dapat menolong iman kaum remaja yang sudah mulai memudar. Kaum remaja perlu diarahkan, dituntun, dibina, dan dikembangkan imannya. Gereja dalam hal ini para gembala umat memiliki kewajiban untuk membangun iman umat.
Upaya yang dapat diwujudkan seperti membangun relasi yang baik, menciptakan suasana yang kondusif, dan membuka diri akan perubahan yang terjadi. Cara membuka diri salah satunya adalah dengan membuat penjelasan tentang iman yang menarik dalam bentuk fisis-praktis atau verbal-visual, baik secara daring ataupun luring.
Manusia dewasa ini telah disebut sebagai “Homo Digitalis” atau makhluk digital. Rumasan klasik tentang manusia sebagai makhluk sosial mungkin tidak hilang namun direduksi ke arah yang berbeda. Sosial bukan dalam artian lokal melainkan global.
Artinya manusia di era digital ini memang masih hidup sebagai makhluk sosial namun juga sosial yang utopis. Karena kesosialan manusia sekarang lebih dimaksudkan pada relasi antar wilayah atau bahkan negara bukan antar “sesama” yang berada secara empirik. Hubungan yang dibangun bukan melalui interaksi langsung antara subjek dan objek, melainkan melalui platform digital atau internet.
Realitas kehidupan yang terjadi saat ini menarik banyak perhatian masyarakat akan masa depan generasi muda. Ketakutan terbesar adalah kemerosotan nilai moral-etis yang semakin memudar. Karakter yang baik harus diusahakan agar tetap bertumbuh dalam hidup.
Pada kenyataannya media sosial telah menjadikan kaum muda bukan individu yang eksklusif dan terkungkung dalam budayanya, namun sudah inklusif dan sangat partisipatif dengan budaya lain.
Di sini telah memungkinkan silang praktik atau pemahaman budaya yang direduksi sehingga melahirkan ambiguitas identitas sosial, politik, dan agama. Lebih jauh kaum muda lupa akan “Yang Ada”, yang telah mengadakan yang ada untuk melengkapi ada yang berada.
Kaum muda telah melupakan Allah. Lebih menarik bagi mereka adalah “Allah” hasil ciptaan sendiri “disembah”. Anak muda sanggup duduk berjam-jam untuk chating-an daripada beberapa menit berlutut dan berdoa.
Kenyataan ini menjadi tanggung jawab manusia zaman ini untuk mengembalikan status asali manusia sebagai homo religius. Tanpa identitas ini keberadaan manusia dan perkembangannya akan terasa hambar dan tanpa arti.