Manggarai One Nai de Ansy, Ungkap Hubungan Kekerabatan Anak Rona Anak Wina
Teropongindonesianews.com
SOSOK Anggota DPR RI Fraksi PDI Perjuangan Yohanis Fransiskus Lema atau akrab disapa Ansy Lema, terpampang di beberapa billboard di Kota Ruteng, Manggarai, di Borong, Manggarai Timur, dan di Labuan Bajo, Manggarai Barat.
Berapa hari terakhir sosok politisi muda NTT itu terpampang juga di baliho berukuran 2 X 3 meter yang bertebaran di berbagi tempat di tiga kota kabupaten tersebut dengan desain berbeda.
Ada beberapa hal yang memantik perhatian, baik di billboard juga baliho yang menghadirkan sosok tak asing bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur (NTT) tersebut, khususnya masyarakat Manggarai.
Yakni tulisan berukuran besar; Manggarai One Nai. Dan ada tulisan kecil di pojok kiri bawah; Beta Cinta NTT.
Hal menarik lain, Ansy Lema berpose dalam balutan hangat towe/lipa songke (kain tenun) Manggarai sembari menyeruput secangkir kopi.
Di baliho-baliho, Ansy juga mengenakan pakaian adat khas Manggarai berupa kemeja putih lengan panjang yang dipadu dengan selempang atau selendang motif songke dan penutup kepala yang disebut sapu.
Terkait hal menarik itu; Manggarai One Nai, seruput secangkir kopi dan lipa songke serta aksesori adat lainnya tersebut, beberapa tokoh yang kompeten memberikan pemaknaan.
Menurut Agustinus Baru, mantan Kepala Sekolah Terpadu Pahoa, Summerecon, Gading Serpong (International school), Jakarta, Manggarai One Nai kalau diterjemahkan secara harafiah artinya Manggarai ada di hati.
Ada di hati siapa? Ya, ada di hati Ansy Lema. “Jadi, Manggarai dalam makna yang lebih luas, yaitu alamnya, budayanya, dan masyarakatnya ada di hati Ansy. Maka, Manggarai One Nai, dapat ditambahkan menjadi Manggarai One Nai de Ansy,” jelas Agus yang juga teman akrab Ansy saat di Seminari Kisol dulu.
Lebih lanjut, putra asal Lamba Leda, Manggarai Timur ini menjelaskan, Nai dapat juga diterjemahkan dengan nafas kehidupan. Dalam konteks ini, Manggarai bagi Ansy adalah nafas kehidupan yang membentuk dirinya menjadi orang Manggarai.
“Itu fakta. Disebut fakta, sebab meskipun lahir di Kupang, mantan aktivis PMKRI itu sejatinya orang Manggarai. Hati dan budinya Manggarai banget,” jelas Agus.
Bagaimana tidak, setelah tamat SD di Kota Kupang, Ansy kemudian menempuh pendidikan tingkat SMP dan SMA di sebuah lembaga pendidikan calon imam di Seminari Kisol, Manggarai Timur, Flores, pada tahun 1988.
“Dia menghabiskan waktunya di Kisol selama 4 tahun, dari 1988-1992. Di hamparan lembah Kisol nan sejuk karena diapit dua Poco (gunung) Ndeki dan Poco Lando, Ansy menyatu dengan alam, tumbuh dalam semangat persaudaraan bersama teman-teman dari Manggarai (mayoritas), Bajawa, Ende, bahkan ada juga dari Sikka,” bebernya.
Karakternya yang supel membuat dia memiliki banyak teman, baik teman seangkatan Sanpio (Seminari Pius XII) angkatan 1988, maupun adik kelas dan kakak kelas.
“Bahasa dan budaya Manggarai meresapinya. Lonto leok (berkumpul), rame raes (kerja bersama alias gotong royong) perlahan tumbuh kokoh dalam dirinya. Karakter Manggarai itu terpatri dalam hatinya, kuat tak mudah lekang.”
Tidak heran, saat berada di Jakarta, dia tidak canggung bergabung dengan komunitas Manggarai, baik kelompok kecil diskusi Tombo Kilo, maupun kelompok diaspora Manggarai umumnya.
“Dan Ansy pun menyunting Maria Immaculata Inge Nioty, gadis asal Mukun, Manggarai Timur sebagai istri yang setia mendampinginya dalam tugas sebagai wakil rakyat,” tambah kepala sekolah tersebut.
Sebuah Niat
Manggarai One Nai, seruput secangkir kopi dalam pelukan hangat towe songke ternyata tidak cuma fakta kedekatan dan karakter Manggarai seorang Anggota Komisi IV DPR RI itu.
Menurut pegiat lingkungan dan pemerhati seni budaya Manggarai, Heribertus Philipus Nerius Baben (Heri), seruput secangkir kopi dan lipa songke yang dikenakan Ansy memiliki dua lapis makna.
Pertama, perlu dipahami bahwa bagi masyarakat Manggarai, kopi bukan hanya sebatas barang komoditas. Kopi memiliki nilai yang menciptakan harmoni sosial.
Di Manggarai, baik yang memiliki kebun kopi maupun yang tidak punya kebun kopi, seolah wajib hukumnya untuk minum kopi.
Bahkan orang Manggarai minimal minum kopi dua kali sehari, pagi dan sore. Apa lagi kalau sedang berkumpul, sajian kopi hangat suatu yang wajib.
“Karena kopi memiliki nilai sosial yang merekatkan hubungan antar warga. Kopi memberi energi dalam sebuah lonto leok. Tanpa kopi, hidup terasa tak berenergi alias loyo. Kopi menghangatkan suasana, membuat gairah bicara saat berkumpul,” jelas Heri Baben.
Terkait lipa songke yang dikenakan, menurut Heri, Ansy mau mengingatkan nilai lipa songke dalam relasi manusia dengan alam dan relasi antar sesama manusia, khususnya orang Manggarai.
Ketika orang Manggarai diterpa suhu dingin seperti di Kota Ruteng, towe songke memberikan kehangatan pada tubuh.
Lebih dari itu, dalam budaya Manggarai, lipa songke -teristimewa yang diberi amang (saudara lelaki dari ibu)- memiliki energi untuk menahan niat jahat orang. Saat badan meriang kedinginan karena ‘sesuatu’, selimut tubuh dengan lipa songke pemberian amang.
Lipa songke juga menjadi sarana estetis yang memperindah dandanan lelaki perkasa saat beradu kekuatan dan ketangkasan dalam permainan caci.
“Jadi, dengan seruput secangkir kopi dan mengenakan lipa songke, Ansy ingin mengingatkan pentingnya harmoni sosial dan harmoni semesta, nilai yang terkandung dalam secangkir kopi dan lipa songke,” jelasnya.
Lanjut Heribertus, dengan menyunting gadis asal Mukun, Manggarai Timur, maka posisi Ansy yang kelahiran Kupang dan orang tua asal Ende dalam hubungan kekerabatan budaya Manggarai adalah sebagai Anak Wina. Sedangkan orang tua Inge, istrinya adalah Anak Rona atau amang.
Dalam hubungan kekerabatan ini, Anak Rona ditempatkan pada posisi terhormat. Sebab, widang atau berkat diyakini mengalir lewat Anak Rona.
Menurut Heribertus, hubungan kekerabatan ini pasti dipahami sangat baik oleh Ansy. Hal tersebut terlihat dari cara berpikir dan bertindaknya terhadap orang Manggarai yang dalam hal ini adalah Anak Rona.
“Jadi, mengenakan pakaian adat Manggarai dan tulisan: Manggarai One Nai merupakan sebuah pernyataan sikap sekali laku yang menunjukkan Ansy benar-benar Anak Wina dite ata Manggarai,” komentar Heribertus.
Kedua, tidak hanya mengingatkan nilai yang terkandung dalam secangkir kopi dan selembar lipa songke. Heribertus yakin Ansy memiliki niat yang kuat untuk menghidupi petani kopi dan tenun khas Manggarai.
Selama ini, para petani kopi belum beruntung nasibnya. Harga kopi di pasaran naik turun tidak menentu. Harga komoditas jatuh kerap dikaitkan dengan kualitas produk.
Menurut Heribertus, jika kualitas biji kopi Manggarai kurang bersaing, itu karena petani memang masih mengerjakannya secara tradisional. Tanaman kopi di Manggarai umumnya telah berusia tua. Butuh regenerasi, peremajaan kopi.
Para petani belum memahami cara memanen, menjemur, memisahkan kulit dari biji. Para petani kopi tidak tersentuh pemerintah terkait upaya meningkatkan pengetahuan mereka, baik sebelum, saat panen maupun pasca panen.
“Saya yakin Ansy punya niat untuk menghidupkan para petani karena dia sudah mencanangkan bahwa NTT itu nelayan tani dan ternak. Begitu pun kelompok pengrajin tenun, saya yakin akan mendapat perhatian,” ujarnya.
Beta Cinta NTT
Billboard itu juga berisi tulisan kecil di pojok bawah: BetaCintaNTT. Nah, sesungguhnya cinta NTT yang menggerakkan Ansy.
Pada Pemilu Legislatif 14 Februari 2O24 ini, Ansy kembali dipercaya konstituen di daerah pemilihan (dapil) 2 NTT untuk menjadi DPR RI periode 2024-2029.
Namun karena cintanya yang begitu besar terhadap masyarakat seantero Nusa Tenggara Timur, Ansy berani memutuskan maju dalam kontestasi Pilgub NTT.
Menurut dosen ilmu politik di Institut Superior Cristal, Dili, Timor Leste, Dr. Vicktor Jahana, jika Ansy melepaskan apa yang sudah dia dapat, yaitu kursi DRR RI dan maju dalam kontestasi untuk merebut sesuatu yang masih mungkin, itu karena rasa cintanya jauh lebih besar melampaui keraguan.
“Saya antusias saat dengar dia maju di Pilgub NTT. Saya kenal dia, orangnya cerdas dan punya konsep yang jelas untuk membangun NTT. Gagasannya membumi menyentuh masyarakat kecil”, kata dosen kelahiran Manggarai Barat itu.
Vicktor menjelaskan, jika ada suara yang mengatakan Ansy mengkhianati suara rakyat karena mundur dari DPR, itu karena kurangnya pemahaman.
Menurutnya, disebut khianat kalau Ansy meninggalkan konstituen. “Kalau Ansy jadi gubernur, kan dia tetap bersama dan akan memperhatikan konstituennya,” tukas alumnus STFK Ledalero, Maumere itu.
Dengan menjadi gubernur, lanjut dia, kapasitas Ansy semakin besar dan jangkauan pengabdiannya semakin luas, sehingga dapat dirasakan semua masyarakat NTT yang saat ini hidup di bawah garis kemiskinan.
“Selama dia jadi DPR-RI yang jelas perhatiannya fokus pada daerah pemilihannya. Saya mencermati, banyak bantuan alat mesin pertanian (alsintan) mengalir ke dapilnya, meski ada juga ke dapil lain seperti bantuan untuk nelayan di Sikka, alsintan di Ngada dan sebagainya,” beber Vicktor.
Pewarta: Susilo Hermanus.
Editor: Santoso.