Rembuk Stunting Pekon Yogyakarta Selatan: Bahas Usulan RKPD untuk Menangani Stunting

Pringsewu,Lampung – Pekon Yogyakarta Selatan, Kecamatan Gadingrejo, Pringsewu, Lampung, menyelenggarakan acara Rembuk Stunting pada 11 November 2024. Acara ini bertujuan membahas usulan Rencana Kerja Pemerintah Desa (RKPD) tahun anggaran 2025 yang fokus pada penanganan stunting di wilayah tersebut.

Rembuk Stunting ini dihadiri oleh berbagai pihak terkait, termasuk pemerintahan Pekon, guru Taman Kanak-kanak (TK), unsur Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (PKK), serta bidan desa. Kehadiran mereka menunjukkan komitmen kuat dari masyarakat dan pemerintahan setempat untuk mengatasi masalah stunting secara serius.

Dalam Rembuk Stunting, berbagai isu terkait stunting dibahas secara mendalam. Salah satu fokus utama adalah peningkatan kesadaran masyarakat tentang pentingnya gizi seimbang dan perawatan anak yang baik untuk mencegah stunting.

Pemerintahan Pekon Yogyakarta Selatan juga membahas langkah-langkah konkret yang akan diambil dalam RKPD tahun 2025 untuk mengurangi angka stunting di wilayahnya. 

Diharapkan, dengan berjalannya waktu, Pekon Yogyakarta Selatan dapat menghilangkan angka stunting dan meningkatkan kualitas hidup anak-anak. Upaya ini juga diharapkan dapat menjadi contoh bagi Pekon lain dalam memerangi masalah stunting yang menghambat pertumbuhan generasi muda.

Continue reading
Pakar Pidana: Gakumdu Manggarai Ceroboh Tetapkan Maksi Ngkeros Tersangka

Ruteng – Pakar Ilmu Hukum Pidana dari Universitas Kristen Artha Wacana Kupang, Rian Van Frits Kapitan, menilai Sentra Penegakan Hukum (Gakumdu) Manggarai terlalu ceroboh menetapkan calon Bupati Manggarai, Maksi Ngkeros, sebagai tersangka dengan tuduhan melakukan kampanye hitam. 

“Setelah saya kaji, kata-kata yang diucapkan Bapak Maksi bukanlah kampanye hitam. Lha, kenapa Gakumdu terlalu ceroboh menetapkan beliau tersangka? Miris juga,” ungkap Rian pada Selasa (12/11/2024). 

Rian telah memberikan keterangan sebagai ahli kepada pihak Gakumdu terkait kasus tersebut pada Senin (4/11/2024).

Rian menjelaskan bahwa penerapan Pasal 187 ayat (2) jo Pasal 69 huruf b dan huruf c UU Pilkada terhadap peserta Pilkada seyogyanya dilakukan dengan hati-hati dan sedapat mungkin dihindari. Kalimat “Ende-ema.., agu sanggen taung ase ka’en.., Pu’ung ce’e mai ho’on lite pande di’an Manggarai ho’o; Agu neka teing caan suara latang thia Bupati Heri Nabit (Bapa-mama, saudara/i, sekalian.., mulai dari sini kita buat baik Manggarai ini, dan jangan kasih satupun suara kepada Heri Nabit) dan Neka pilih hia kole tite, ai hia Heri Nabit poli pande hancuran Manggarai ho.o (jangan pilih dia lagi, karena dia Heri Nabit telah menghancurkan Manggarai ini)”, yang disampaikan dalam kampanye terbuka pada tanggal 07 Oktober 2024 di halaman rumah Gendang (rumah adat) Kampung Rampasasa, Desa Wae Mulu, Kecamatan Wae Ri’i, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur, bukanlah merupakan penghinaan, hasutan, dan fitnah terhadap Heri Nabit sebagai Petahana.

**Apakah statemen Maksi Ngkeros yang disampaikan dalam kampanye terbuka pada tanggal 07 Oktober 2024 di halaman rumah Gendang (rumah adat) Kampung Rampasasa, Desa Wae Mulu, merupakan penghinaan, hasutan, dan fitnah terhadap Heri Nabit sebagai Petahana?**

Rian menjelaskan bahwa untuk menjawab pertanyaan ini, hal utama yang harus dipahami adalah pengertian penghinaan, hasutan, dan fitnah. Menurutnya, jika dilakukan interpretasi otentik dari penjelasan resmi UU Pilkada, tidak ditemukan penjelasan lebih lanjut tentang apa yang dimaksud dengan penghinaan, hasutan, dan fitnah. Oleh sebab itu, maknanya harus dilihat menggunakan interpretasi gramatikal (menurut tata bahasa).

* Penghinaan menurut tata bahasa selalu diartikan sebagai perbuatan yang menyerang kehormatan dan nama baik seseorang.

* Fitnah merupakan suatu perbuatan yang bentuknya adalah menuduh seseorang telah melakukan atau tidak melakukan suatu perbuatan padahal diketahui oleh si pembuat fitnah bahwa hal itu tidak benar.

* Sedangkan pengertian hasutan, menurut Rian, lebih tepat jika diartikan menggunakan metode interpretasi doktrinal, yakni mencari makna dari suatu kata dalam undang-undang dengan mengaitkannya pada makna yang diberikan melalui praktik peradilan yang ada. Menurut praktik peradilan, hasutan/menghasut adalah mendorong, mengajak, membangkitkan, atau membakar semangat orang supaya berbuat sesuatu. Dalam kata “menghasut” tersimpul sifat “dengan sengaja”. Menghasut itu lebih keras daripada “memikat” atau “membujuk”, akan tetapi bukan “memaksa”. 

Rian menambahkan bahwa makna kata mengasut/hasutan dalam praktik peradilan ini dipengaruhi oleh komentar R. Soesilo terhadap norma Pasal 160 KUHP dalam bukunya “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal”.

Rian menegaskan bahwa penghinaan, fitnah, dan hasutan dalam UU Pilkada tersebut mensyaratkan adanya kesengajaan sebab sesuai dengan rumusan unsur kesengajaan yang dirumuskan secara deskriptif normatif (perumusan langsung dalam delik) pada Pasal 187 ayat (2) UU Pilkada. Oleh karena itu, kesengajaan menjadi unsur yang wajib dibuktikan oleh penyidik Sentra Gakkumdu Manggarai untuk menentukan ada tidaknya *mens rea* pada diri pelaku penghinaan, fitnah, dan hasutan dalam Pasal 69 huruf b dan huruf c UU Pilkada.

Kesengajaan sebagai salah satu bentuk dari kesalahan dalam hukum pidana dibagi ke dalam beberapa bentuk:

1. Kesengajaan sebagai maksud,

2. Kesengajaan sebagai suatu kepastian, dan

3. Kesengajaan sebagai keinsyafan (*dolus eventualis*).

Namun, karena yang dicari dalam hukum acara pidana adalah kebenaran materiel atau kebenaran yang sudah tidak terbantahkan lagi, Rian berpendapat bahwa bentuk kesengajaan yang harus diterapkan secara mutatis-mutandis oleh Penyidik adalah kesengajaan sebagai maksud.

Kesengajaan sebagai maksud artinya pelaku menghendaki dilakukannya penghinaan, fitnah, dan hasutan tersebut serta akibat dari perbuatan itu juga dikehendaki dan diketahui secara sadar oleh pelaku. Untuk mengetahui apakah pelaku menghendaki dan mengetahui perbuatan dan akibat dari perbuatannya tersebut, maka tidak cukup penentuan kesengajaan sebagai maksud itu hanya dipandang pada saat pelaku mengucapkan kalimat yang diduga menghina, memfitnah, dan menghasut, tetapi yang harus dilihat adalah keadaan sebelum, saat, dan setelah pelaku mengucapkan kalimat yang diduga menghina, memfitnah, dan menghasut itu.

Rian menegaskan bahwa penghinaan dan fitnah dimaksudkan untuk menyerang kehormatan dan nama baik seseorang. Kehormatan dan nama baik seseorang dalam ajaran ilmu hukum menyangkut dengan martabat manusia (*human dignity*). Sehingga penghinaan dan fitnah murni (*pure*) dimaksudkan untuk menyerang manusia secara personal/pribadi.

Rian berpendapat bahwa dalam pernyataan pada sesi kampanye terbuka tanggal 07 Oktober 2024 bukanlah suatu penghinaan dan fitnah, sebab dua kalimat a quo dilandasi atas penilaian kinerja Heri Nabit dalam jabatannya sebagai Bupati Manggarai sebelumnya (Petahana). 

Sebagai Calon Bupati yang sebelumnya menjabat dan kemudian kembali maju dalam Pilkada Kabupaten Manggarai, Heri Nabit tidak dapat diposisikan setara dengan calon lain yang bukan Petahana, sebab prinsip dasar dalam demokrasi selalu terbuka ruang untuk menilai kinerja seorang Petahana sebagai materi dalam kampanye. Hal ini juga sesuai dengan pendapat Hard, bahwa perlakukan yang berbeda dibolehkan dalam hukum asal didasarkan pada kondisi yang berbeda.

Kendatipun Heri Nabit merupakan salah satu Calon Bupati Manggarai sehingga sesuai dengan rumusan norma Pasal 69 huruf b dan huruf c UU Pilkada, namun dua kalimat tersebut telah ternyata disampaikan dalam konteks menilai kinerja yang bersangkutan pada saat menjabat sebagai Bupati Manggarai, sehingga tidaklah tepat dikategorikan sebagai perbuatan menyerang kehormatan dan nama baik Heri Nabit sebagaimana yang dipersyaratkan dalam tindak pidana Penghinaan dan fitnah yang telah dijelaskan di atas.

Dalam perkembangan ilmu hukum pidana dewasa ini, kritik yang menyangkut dengan kepentingan umum tidaklah dapat dipidana. Kepentingan umum menurut ilmu hukum adalah kepentingan bangsa dan negara/daerah. Rian berpendapat bahwa dua kalimat tersebut dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum, sebab dalam dua pernyataan tersebut terdapat frasa “Manggarai Telah Hancur Dan Mari Kita Buat Baik Manggarai Ini”.

Rumusan “menghasut” secara ekspresif verbis telah diatur dalam Pasal 160 KUPidana dengan kualifikasi delik hasutan membuat keonaran yang merupakan jenis delik formil. Artinya, suatu perbuatan pidana yang tidak diperlukan akibat yang timbul dari hasutan itu, asalkan ada kalimat berupa hasutan, maka pelaku sudah dapat dipidana. Perumusan delik dalam Pasal 160 KUHP itu sebagai delik formil membawa implikasi yang luas dalam bidang penegakan hukum pidana, sebab orang dapat diproses hukum tanpa pembuktian yang kompleks tentang kalimat yang dianggap menghasut itu. Akan berbeda jika perumusannya berbentuk sebagai delik materiel, maka pembuktiannya harus dilihat apakah hasutan itu dilakukan oleh orang-orang yang dihasut ataukah tidak (akibat).

Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Nomor: 7/PUU-VII/2009, tanggal 22 Juli 2009 (lihat konklusi putusan) telah menegaskan bahwa tindak pidana menghasut a quo merupakan delik materiel. Maknanya, harus menimbulkan akibat berupa berhasilnya hasutan tersebut.

Salah satu prinsip dasar dalam melakukan penafsiran undang-undang pidana adalah prinsip *exceptio firmad regulam*, artinya penafsiran undang-undang pidana harus selalu menguntungkan terlapor, tersangka, dan terdakwa. Oleh karena itu, Rian berpendapat bahwa menghasut dalam norma Pasal 69 huruf c harus diinterpretasi sistematis dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor: 7/PUU- VII/2009, tanggal 22 Juli 2009, sebab konteksnya adalah kedudukan Heri Nabit sebagai Petahana/mantan penguasa yang dinilai tidak merealisasikan janji kampanye periode sebelumnya saat menjabat sebagai Bupati Manggarai. 

Implikasinya, tindakan menghasut dalam UU Pilkada tersebut mesti ditafsirkan sebagai delik materiel. Karena bersifat delik materiel, maka belum dapat disimpulkan akibat dari ajakan untuk tidak memilih Heri Nabit a quo berhasil ataukah tidak.

Untuk menentukan kesengajaan dalam penghinaan, fitnah, dan menghasut yang harus dilihat adalah keadaan sebelum, saat, dan setelah pelaku mengucapkan kalimat yang diduga menghina, memfitnah, dan menghasut itu. 

Rian berpendapat bahwa pada saat menyampaikan dua kalimat tersebut oleh salah seorang Calon Bupati Manggarai, terlebih dahulu yang bersangkutan mendapat pengaduan dari para pendukungnya di Kampung Rampasasa, Desa Wae Mulu, Kecamatan Wae Ri’i, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur. Sehingga, pada saat disampaikan dua kalimat a quo bukanlah merupakan suatu perbuatan yang disengaja melainkan suatu kewajiban sebagai Calon Bupati dalam menjawab keluhan dari para pendukungnya yang tidak puas dengan kinerja Heri Nabit selama menjabat lima tahun sebagai Bupati Manggarai. Bahkan, setelah menyampaikan dua kalimat tersebut, kampanye/orasi tidak langsung dihentikan oleh Calon Bupati yang bersangkutan. Sehingga, tidak terdapat kesengajaan/niat untuk menyampaikan 2 (dua) kalimat a quo dengan maksud menghina dan memfitnah Heri Nabit secara personal serta menghasut.

Rian juga menambahkan bahwa ajakan untuk tidak memilih Heri Nabit tersebut bukanlah hasutan yang dilarang oleh UU Pilkada, sebab semua Calon Kepala Daerah saat kampanye justru tujuannya adalah mengajak orang-orang untuk memilih dirinya dan tidak memilih Peserta Pilkada lain.

Continue reading
Muhammad Fawait Calon Bupati Jember Turut Diperiksa KPK di Kasus Korupsi Hibah DPRD Jatim

Teropongindonesianews.com

JEMBER – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memeriksa seluruh anggota DPRD Jawa Timur periode 2019-2024 dalam menangani kasus korupsi hibah anggaran pokok-pokok pikiran (Pokir) yang bernilai Rp1,8 triliun.

Pemeriksaan digelar secara maraton dengan memanggil mereka satu per satu. Termasuk memeriksa para mantan legislator DPRD Jatim yang sekarang menjadi calon Bupati Jember, Muhammad Fawait.

Fawait mendapat giliran diperiksa bersama belasan orang lainnya pada Selasa, 12 November 2024. KPK meminjam tempat di kantor BPKP Jawa Timur untuk memeriksa Fawait serta puluhan orang lainnya.

“Pemeriksaan di kantor BPKP Perwakilan Jawa Timur,” kata Juru Bicara KPK Tessa Mahardhika sebagaimana dilansir kantor berita Antara.

Sebagai informasi, KPK mengembangkan penyidikan usai menjerat mantan Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Sahat Tua Simanjuntak yang terkena operasi tangkap tangan (OTT). Sebab, yang dikorupsi merupakan uang hibah usulan DPRD Jawa Timur kepada kelompok-kelompok masyarakat.

Fawait merupakan salah satu dari pengusul Pokir yang nilai anggarannya mencapai lebih dari Rp200 miliar. Rinciannya mulai dari tahun 2020 senilai Rp148,3 miliar; 2021 senilai Rp22,1 miliar; 2022 senilai Rp34,5 miliar; dan 2023 senilai Rp37,5 miliar.

Sejauh ini, KPK masih menetapkan 21 orang tersangka yang terdiri atas mantan anggota DPRD, penyelenggara negara, dan warga yang berkaitan dengan Pokmas.

Sahat Tua Simanjuntak yang paling awal terjerat telah dijatuhi vonis oleh pengadilan berupa hukuman 9 tahun penjara. (*)

Pewarta: Res.

Editor: Santoso.

Continue reading
Ambrolnya Proyek Rehabilitasi Saluran Tersier di Baderan, LBH Cakra Minta Pihak Dinas PUPP Bertanggung Jawab

Situbondo, Jawa Timur – Proyek rehabilitasi saluran tersier di Desa Baderan, Situbondo, yang menelan biaya hampir Rp200 juta, ambrol hanya dalam beberapa bulan setelah selesai. Kejadian ini mengundang keprihatinan dari LBH Cakra Situbondo, yang sejak awal telah memantau proyek tersebut dan menilai proses pekerjaannya tidak sesuai dengan petunjuk teknis yang ada.

“Dari awal, tim kami sudah memantau jalannya pekerjaan ini. Kami sudah mengantongi data dan akan secara kelembagaan melaporkan kegiatan proyek tersebut,” tegas Nofika Syaiful Rahman (Opek), Ketua LBH Cakra Situbondo.

Menurut LBH Cakra, ambrolnya proyek ini disebabkan oleh kurang profesionalnya rekanan dan lemahnya fungsi pengawasan dari Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPP) Bidang Sumber Daya Air (SDA) Kabupaten Situbondo. “Kami menyayangkan sikap lemah Dinas PUPP dalam melakukan pengawasan. Kekhawatiran kami benar-benar terjadi,” ungkap Opek.

LBH Cakra menilai bahwa menunjuk kontraktor yang tidak profesional akan merugikan negara dan masyarakat. “Ini menghamburkan anggaran. Kami berharap di masa mendatang, Dinas PUPP lebih memilih rekanan yang profesional agar kejadian serupa tidak terjadi lagi,” imbuh Opek.

Saat tim LBH Cakra tiba di lokasi ambrolnya proyek, pihak Dinas PUPP dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Bidang SDA juga berada di lokasi. Saat ditanya awak media, PPK menyampaikan bahwa ambrolnya proyek tersebut masih menjadi tanggung jawab pihak kontraktor, dan mereka berencana segera mendatangkan tukang untuk memperbaikinya..

Namun, LBH Cakra Situbondo mendesak Dinas PUPP Kabupaten Situbondo untuk segera menindaklanjuti kasus ambrolnya proyek tersebut dan meminta rekanan bertanggung jawab atas kerusakan yang terjadi.  Tim LBH Cakra sudah mengantongi data dan menemukan fakta mengejutkan di lapangan.  

“Hal ini tidak seratus persen disebabkan oleh faktor alam.  Mekanisme pekerjaan dari awal perlu dipertanyakan,” tegas Opek. LBH Cakra akan terus mengawal kasus ini hingga pihak terkait bertanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan.

Continue reading
Hakim PN Ruteng Diminta Batalkan Penetapan Tersangka Maksi Ngkeros

Ruteng – Hakim tunggal Pengadilan Negeri Ruteng diminta memutuskan tidak sah penetapan tersangka calon Bupati Manggarai periode 2024-2029, Maksi Ngkeros, dalam tuduhan melakukan kampanye hitam di Rampasasa pada 7 Oktober 2024. 

Tim kuasa hukum Maksi Ngkeros, yang terdiri dari Dr. Siprianus Edi Hardum, SH, MH; Melkhior Judiwan, S.H. M.H; Wilhelmus Ngaruk, SH, Robertus Antara, SH, dan Roderik Imran, SH, MH, dalam permohonan praperadilan di Pengadilan Negeri Ruteng, Senin (11/11/2024),  menyatakan bahwa penetapan tersangka tersebut tidak memenuhi syarat formil. 

Mereka berpendapat bahwa penetapan tersangka hanya didasarkan pada video di akun Facebook yang meng-upload sepotong pidato Maksi Ngkeros di Rampasasa.  Tindakan Polres Manggarai dan Gakumdu Manggarai dinilai bertentangan dengan Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016.  

Menurut tim kuasa hukum, Putusan MK 20/2016 menyatakan bahwa frasa “Informasi Elektronik dan Dokumen Elektronik” dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat, kecuali dimaknai sebagai alat bukti yang diperoleh atas permintaan kepolisian, kejaksaan, atau institusi penegak hukum lainnya yang ditetapkan berdasarkan undang-undang.

Tim kuasa hukum juga menekankan bahwa penggunaan informasi elektronik sebagai alat bukti harus memenuhi syarat formil dan materil yang diatur dalam UU ITE. Syarat formil meliputi cara memperoleh informasi yang sah, sedangkan syarat materil meliputi keotentikan, keutuhan, dan ketersediaan informasi.

Tim kuasa hukum berpendapat bahwa penetapan tersangka terhadap Maksi Ngkeros tidak memenuhi syarat formil karena tidak didasarkan pada bukti yang diperoleh secara sah, serta tidak memenuhi syarat materil karena tidak terpenuhi aspek keotentikan, keutuhan, dan ketersediaan informasi.

Selain itu, tim kuasa hukum menyatakan bahwa penetapan tersangka tidak cukup bukti.  Mereka mengutip prinsip hukum “in criminalibus probantiones bedent esse luce clariores”, yang berarti bukti-bukti dalam perkara pidana harus lebih terang daripada cahaya.  

Edi Hardum, salah satu anggota tim kuasa hukum, menekankan bahwa klien mereka sama sekali tidak memiliki bukti-bukti yang lebih terang daripada cahaya dalam perkara pidana “Pemilihan Umum/Pilkada”,  sehingga penetapan tersangka melanggar hukum dan HAM.

Melkhior Judiwan menambahkan bahwa penetapan tersangka tidak sah menurut hukum dan bertentangan dengan hukum, karena laporan polisi yang dibuat pada tanggal 23 Oktober 2024 terkait peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana pemilihan (Black Campaign) pada tanggal 7 Oktober 2024,  tidak memenuhi syarat formil. 

Tim kuasa hukum juga berpendapat bahwa penetapan tersangka Maksi Ngkeros bertentangan dengan Pasal 1 angka 14 KUHAP dan Putusan MK Nomor: 21/PUU-XII/2014, yang mewajibkan adanya bukti permulaan (minimal dua alat bukti) sebelum penetapan tersangka. Mereka juga mengkritik proses penyidikan yang tidak memenuhi syarat, karena tidak melalui tahap mencari minimal dua alat bukti yang sah dan relevan dengan unsur-unsur tindak pidana yang disangkakan.

Tim kuasa hukum juga mengutip pakar pidana Dr. Chairul Huda, SH.,MH, yang menyatakan bahwa penetapan tersangka, penangkapan, dan penahanan hanya dapat dilakukan jika secara substansial hasil penyidikan menunjukkan korelasi antara bukti dan bukti permulaan yang ada dengan tindak pidana yang dipersangkakan.

Dengan demikian, tim kuasa hukum Maksi Ngkeros meminta Hakim PN Ruteng untuk membatalkan penetapan tersangka dan memerintahkan Polres Manggarai dan Gakumdu Manggarai untuk menghentikan penyidikan terhadap Maksi Ngkeros.

Continue reading